Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Punk di Aceh, Buah Kesalahan Pendidikan

Page3Baru-baru ini, di Kota Banda Aceh diadakan sebuah Event Yang diakomodir oleh kumpulan anak Punk Aceh.Tema acara mereka ini adalah “Musik Anak Punk”. Dalih mereka dalam melaksanakan acara ini adalah mengumpulkan dana untuk anak-anak yatim.

Benarkah tujuan mereka semulia itu???

Terdapat beberapa jawaban mengenai hal ini. Akan tetapi, jika niat mereka benar-benar untuk menolong anak yatim, mengapa harus dilakukan dengan hal yang sangat bertentangan dengan budaya disini, Aceh. Bukankah masih banyak cara-cara lain yang notabene tidak bertentangan dengan budaya Aceh, dan juga mampu menarik perhatian orang untuk ingin membantu.

Aceh adalah provinsi yang memiliki hak istimewa, yaitu Syariat Islam. Hanya Aceh satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara terang-terangan ingin menegakkan Syariat Islam di dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Hal ini berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 18 UUD 1945, propinsi Aceh resmi ditetapkan sebagai daerah istimewa. Kemudian ditetapkanlah UU No. 24 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi propinsi Aceh. Propinsi Aceh berdasarkan UU No.44 Tahun 1999 memiliki empat keistimewaan, yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaran pendidikan, serta peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Selanjutnya, pada era reformasi, TAP MPR No. IV tahun 1999 tentang GBHN menegaskan daerah istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus guna mempertahankan integrasi bangsa dan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan seni budaya. Selanjutnya GBHN ditindaklanjuti oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Indonesia merupakan negara hukum, maka pelaksanaan otonomi khusus seharusnya diatur berdasarkan UU khusus bagi Aceh, sehingga pada tanggal 9 Agustus 2001 ditetapkan UU No.18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus daerah istimewa Aceh sebagai propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kemudian diperbaharui oleh UU No.11 tahun 2006 yang mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah propinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Sudah jelas bukan, bagaimana kokohnya dasar hukum Syariat Islam di Aceh (Jadi jangan ragu dalam menerapkannya). Syariat Islam di Aceh tidak bisa secara serentak dan menyeluruh dilakukan, perlu tahap-tahap tertentu, metode-metode tertentu untuk menerapkannya. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak merasa terbebani dengan Syariat Islam ini (walaupun lebih dari 90% masyarakat Aceh adalah Muslim).

Nah, pada judul tulisan ini, saya menghubungkan Punk dengan Pendidikan. Agar lebih jelas, saya akan mendefinisikan terlebih dahulu apa itu Punk dan apa itu Pendidikan.

Ketika kamu mengetikkan keyowrd di Google “Punk adalah”, maka akan keluar hasil lebih dari 1,340,000 hasil. Sangat mengejutkan bukan. Bahkan, ada juga hasil yang menarik hati saya adalah adanya “Punk Muslim” (Ya Allah). Terlepas dari hasil Google tersebut, defenisi Punk dalam konteks Ideologi adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan suatu pemerintahan, perlawanan terhadap aturan pemerintah, bebas berkreativitas, dan anti-manja (tidak mandiri). (Baca juga defenisi dari Wikipedia).

Selanjutnya, arti dari pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Berhubungan????

Tentu saja. Punk lahir dari ketidakteraturannya sistem pendidikan Aceh. Hal ini terjadi karena belum diterapkannya Syariat Islam di dalam pendidikan di Aceh itu sendiri. Baik dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Padahal sangat jelas, jika Pendidikan di Aceh menerapkan Syariat Islam dalam prosesnya, tentu saja Punk tidak mampu masuk ke Aceh.

Sebenarnya, Punk itu budaya Negatif, jika disandingkan dengan budaya Aceh, dengan Syariat Islamnya. Mana mungkin dengan dengan baju lusuh, seadanya dan kotor, dapat melakukan Ibadah??? Berbanding terbalik dengan Hadist Rasulullah banwa kebersihan itu sebagian dari iman. Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa Punk itu tidak ada tempat di Aceh. Selanjutnya, nenek moyang kita dahulu, orang Aceh, dengan Adatnya, sudah ada tempat menyalurkan aspirasi tanpa harus membentuk kelompok yang aneh seperti ini. Hal ini dapat kita lihat sampai sekarang seperti adanya Tuha Peut, Ketua Pemuda, dan lain-lain. Mereka ini ada sesuai dengan kelompok masyarakatnya. Jadi..untuk apa membeli gell pengeras rambut segala?

Selanjutnya, apa yang membuat salah?

Yang membuat salah yang sebenarnya adalah sistem pendidikan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan ini telah sukses melahirkan manusia-manusia yang pintar, namun jauh dari nilai Islam, sehingga yang ada di benak mereka hanya mengumpulkan materi dan selalu menambah materi itu tanpa henti. Pangkat dan jabatan adalah prioritas utama. Padahal, jika mereka mati nanti, semua itu tidak lebih dari setumpuk sampah tiada guna.

Untuk itulah, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah apapun golongan kita. Percayalah, hanya dengan dekat Allah dan menerapkan hukumnya kita semua bisa selamat di dunia akhirat.

Hendra Yulisman
Hendra Yulisman Alumni LPDP PK 41 - Catureka Mandala. Seorang Pengajar yang sedang Belajar. Softcore gamer. Sangat tertarik dengan IT, Mikrobiologi dan Media Pembelajaran.

Posting Komentar untuk "Punk di Aceh, Buah Kesalahan Pendidikan"